Senin, 15 Maret 2010

Awal Membangun Bisnis (1): Gamang

Ingin punya bisnis sendiri adalah mimpiku sejak lama. Keinginan itu begitu menggebu-gebu, sehingga kadang-kadang aku tak bisa tidur karena memikirkannya. Setiap pagi, saat bangkit dari tempat tidur, aku selalu bersemangat, dan selalu mengulang-ulang kalimat "Aku harus mulai hari ini..! Aku harus mulai hari ini..!" dengan penuh semangat.
Tetapi punya semangat saja ternyata tidak cukup. Ketika hari sudah semakin tinggi, secara perlahan semangat itu memudar, meleleh oleh sinar matahari yang semakin panas. Saat itu aku hanya bisa duduk termangu di depan laptop kecilku, satu-satunya modal yang aku punya.
Selama beberapa bulan aku mengalami hari-hari seperti itu, hingga pada akhirnya aku bosan, bahkan merasa gamang. Aku merasa sangat sia-sia membangun semangat yang semu setiap pagi, tapi tidak pernah ada realisasinya.
Aku tak tahu bagaimana harus memulai mewujudkan mimpi itu. Aku tak punya modal. Satu-satunya modal yang kumiliki, hanyalah satu unit laptop, scanner dan printer. Sisanya adalah semangat. Aku bahkan tidak tahu bisnis apa yang ingin aku bangun, tidak punya perencanaan, tidak punya modal tunai dan tidak punya teman sama sekali.
Benar-benar kosong.
Sebenarnya aku tidak bisa bilang aku benar-benar kosong. Tingkat pendidikanku sangat memadai. Aku adalah sarjana teknik dan magister di bidang ekonomi. Pengalamankerja sebagai wartawan dan hobbi menulis sangat bagus dalam menunjang kegiatanku. Tetapi umur yang sudah 40 tahun, membuat hidupku terasa gamang. Usiaku terlalu tua. Pada saat yang sama, aku sudah tidak punya pegangan hidup. Aku pengangguran 100%. Untungnya aku masih lajang, sehingga tidak beban yang harus kubiayai.
Dari seorang karyawan yang bergaji Rp 8 jt/bulan pada tahun 2008, menjadi pengangguran yang tidak punya kegiatan apa-apa, adalah perubahan hidup yang sangat berat. Aku frustasi. Apalagi yang tersisa padaku adalah hutang dari dua kartu kredit yang melampaui limit, sementara aku tidak punya uang lagi untuk mencicilnya. Belum lagi tagihan kredit rumah yang belum lunas dan motor yang setiap bulan masih harus kubayarkan. Total-total, aku harus membayar sedikitnya 4,6 juta setiap bulan untuk mencicil pokok tagihan dua kartu kredit, serta tunggakan cicilan rumah dan motor. Dan seluruh kewajiban itu harus dibayarkan setiap bulan, tanpa ada toleransi waktu lagi.
Satu-satunya yang tersisa adalah semangat bahwa aku harus keluar dari lingkaran hitam ini. Harus!
Caranya adalah, membangun bisnis sendiri.
Tetapi ternyata itu tidak mudah.
Hobbiku membaca hanya memperparah kondisi psikisku, karena rasa iri semakin bertumpuk-tumpuk ketika membaca kisah sukses seorang pengusaha. Kenapa dia bisa, aku tidak?
Buku-buku maupun artikel yang kubaca sama sekali tidak membantu dalam memberi ide, bisnis apa yang harus aku bangun dan bagaimana memulainya. Sebenarnya aku punya banyak keinginan. Banyak sekali bisnis yang ingi kumiliki. Kemudian aku memcoba membuat daftar bisnis yang sangat ingin kumiliki dengan alasan-alasannya, seperti berikut:
1. Percetakan dan Penerbitan; karena akus suka menulis, dan punya pengalaman sebagai
2. Bidang komputer: desain grafis dan programming; karena aku suka bidang komputer dan sedikit menguasainya dengan belajar otodidak.
3. Produk souvenir; karena aku suka sekali membuat kerajinan. Saat itu, aku sudah punya ide membuat souvenir dengan bahan baku kertas.

Itulah tiga bisnis sangat ingin aku miliki.
Tetapi aku dihadapkan pada masalah lain, aku tidak punya modal uang. Bahkan dengan utang-utang kartu kredit tersebut, boleh dibilang hidupku saat ini minus luar biasa.

Berbulan-bulan aku menjalani hidup dengan frustasi. Punya semangat, tetapi tidak punya jalan keluarnya. Entah kenapa, otakku serasa beku oleh segala masalah yang sedang kuhadapi. Para debt collector dari dua bank yang menerbitkan kartu kreditku mulai mengeluarkan ancaman, bahkan sampai ke rumah. Hingga kedua orangtuaku tahu masalah keuanganku. Aku semakin frustrasi karena ibuku mulai menangis ketakutan dengan acaman-ancaman para debt collector itu. Ayahku yang memang sangat temperamental, semakin suka marah dan memaki-maki, bukan hanya memaki-maki aku, tetapi ibu lah yang lebih sering menjadi korban makiannya setiap kali telepon dari para debt collector datang ke rumah.
Aku benar-benar berada di puncak rasa frustrasi.
Pada saat itulah aku mulai menggugat Tuhan. Aku sangat kecewa pada Tuhan, karena merasa memberikan hidup yang tak jelas statusnya padaku.
Selama beberapa tahun, ibadah tak lagi bermakna buatku. Aku meninggalkannya, benar-benar meninggalkanNya. Kalaupun aku melaksanakan ibadah, hanya di depan teman-temanku. Tetapi di hatiku penuh dengan rasa amarah dan kecewa pada Tuhan, dan ingin menjauhiNya. Meski jauh di lubuk hatiku, aku merasa bahwa sikapku pada Tuhan adalah hal yang salah. Dan aku juga selalu merasa takut, Dia akan melaknatku dengan sikapku yang sombong padaNya.
Satu pertolongan – pertolongan dari Tuhan yang tak pernah kusadari dan tidak mau kuakui—datang padaku. Stressnya ibu dengan teror dari para debt collector membuatnya meminta bantuan kakak sulungku untuk menyelesaikan masalahku. Kakakku dengan tanpa rasa berat sedikitpun, langsung menyanggupi. Dia meminjamkan uang padaku dalam jumlah yang cukup besar bagiku, meski sebenarnya belum sepenuhnya menyelesaikan utang
Dengan uang pinjaman itu, aku menyelesaikan utang salah satu kartu kreditku, sedangkan kartu kredit yang satunya lagi hanya bisa kubayarkan setengah dari total utang yang ada. Karena aku masih harus menyelesaikan tunggakan cicilan rumah juga.
Paling tidak, dengan bantuan pinjaman itu, teror dari para debt collector berhenti. Ibu kembali tenang, aku juga sedikit bernapas lega. Setelah penyelesaian sebagian utang-utang itu, aku masih punya kewajiban membayar sekitar Rp 2,5 jt/ bulan. Berarti kewajibanku masih tetap besar, meski aku masih ada toleransi waktu yang lebih longgar.
Semangatku untuk bangkit kembali tetap membara di dalam hatiku. Dengan ada atau tidak ada Tuhan bersamaku, aku tetap berusaha untuk mengembalikan hidupku yang sebenarnya. Pada saat itu, aku merujuk pada orang-orang atheis, yang bahkan tidak percaya percaya pada Tuhan, akan berhasil mencapai sesuatu dengan bekerja keras.
Pada saat itu, aku berpikir bahwa setiap manusia sudah memiliki garis hidupnya. Setiap manusia sudah menggenggam takdir baiknya, saat dia terlahir di dunia. Bagaimana manusia itu menemukan takdirnya, adalah yang harus dilakukan, harus ada usaha untuk mengetahuinya.
Ada orang yang menemukan takdir baiknya dengan cepat. Tetapi ada orang yang harus bersusahpayah mencari jalan untuk menemukan takdir baiknya. Aku selalu berpikir bahwa mungkin aku berada pada kelompok kedua, yaitu orang yang harus bersusah payah terlebih dahulu untuk bisa menyatu dengan takdir baiknya.
Namun perjalanan waktu membuatku frustrasi. Aku menggugat Tuhan karena dia memberikan waktu yang terlalu lama bagiku untuk menemukan takdir baikku. Bahkan di usia yang 40 tahun, aku bahkan belum tahu seperti apa takdir baikku. Atau apakah aku sebenarnya tidak punya takdir baik?
Berbulan-bulan, bertahun-tahun, aku menjalani hidup yang gamang. Satu-satunya yang membuatku tetap ingin hidup adalah semangat bahwa aku harus membuktikan diri pada orang lain bahwa aku bukan orang yang tak berguna.(**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Kehidupan Manusia