Minggu, 10 Oktober 2010

Awal Membangun Bisnis (2): Partner

Di tengah kegamangan hidup dan frustrasi yang berkepanjangan, aku bertemu dengan seorang teman lama melalui jaringan pertemanan Facebook. Sebenarnya aku sudah bertemu dengan banyak orang teman lama. Tetapi teman yang satu ini, Agus, tiba-tiba menelepon, menawarkan kerjasama bisnis.
Pada saat aku sedang frustrasi, kehadiran seorang teman bicara yang topik yang sama-sama diminati, seperti mendapatkan segelas air dingin di saat kehausan di tengah padang tandus yang gersang. Aku menanggapinya, meski dengan ragu-ragu. Aku menemuinya di sebuah cafe, meski dengan rasa pesimis luar biasa.
Berdua kami mengungkapkan mimpi-mimpi besar kami di bidang bisnis. Aku dan dia punya keinginan yang sama, mimpi yang sama, tetapi kondisi keuangan yang sama. Sama-sama nol.
Aku sejenak frustrasi kembali. Aku terpaksa menolak ajakannya bekerjasama.
Bagaimana aku bisa menerima kerjasama dengannya? Dia menawarkan kerjasama di bidang kuliner, bidang yang sama sekali tidak aku minati.
Yang kedua, dia berharap investasinya dari aku. Darimana aku dapat uangnya?
Boro-boro berinvestasi, bayar utang kartu kredit saja aku pusing setengah mati.
Tetapi Agus tidak putus asa. Dia menjelaskan peluang-peluang bisnis yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya mimpi, dengan tanpa modal dana. Yang penting adalah modal keberanian! Modal Otak Kanan!
Agus adalah temanku saat kami kuliah di fakultas teknik jurusan teknik mesin. Dia tamat lebih dulu, dan langsung mendapatkan pekerjaan yang bagus di sebuah perusahaan pembiayaan. Kemudian dia berhenti dan memulai bisnis sendiri dengan kecil-kecilan. Bisnisnya konon tidak berjalan baik, sehingga dia kemudian beralih menjadi karyawan di sebuah perusahaan distributor minuman, hingga saat aku bertemu dengannya.
Sedangkan aku tamat karena dipaksa setelah hampir melewati batas waktu kuliah. Aku terlalu sibuk menjadi wartawan, saat sedang menjadi mahasiswa, sehingga kuliahku terbengkalai. Waktu itu aku diberi pilihan: Tamat sekarang atau DO!
Aku sempat berpikir, tidak usah menamatkan kuliahku. Toh pekerjaanku bagus. Aku menjadi wartawan di sebuah harian yang cukup besar. Gajiku lumayan, karena aku sudah bisa mencicil rumah. Tetapi oleh teman-temanku, aku dipaksa untuk memilih: Tamat Sekarang!
Akhirnya aku menuruti saran teman-temanku. Tamat saja, daripada nanti menyesal. Dan beberapa tahun kemudian, aku benar-benar bersyukur bahwa aku mengikuti saran teman-temanku. Aku tidak pernah jadi malu karena DO. Aku juga malah kepikiran untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, saat jenuh menjadi wartawan.
Dengan keputusan yang nyaris tak masuk akal, aku berhenti bekerja dari perusahaan media, dan memilih hijrah ke Jakarta untuk bersekolah S2.
Sayangnya, saat kembali dari Jakarta, aku pulang dalam keadaan terpuruk, tanpa uang, kecuali hutang dari dua kartu kredit.
Bertemu dengan Agus itulah yang kembali membangun semangatku, dan seolah membuka jalan bagiku untuk mewujudkan impianku, memiliki bisnis sendiri.
Terus terang, semangat Agus menjalar padaku. Dia rupanya sedang mengikuti pendidikan Enterpreneurship University (EU) milik Purdy E. Chandra, sebuah sekolah yang menggugah semangat bisnis anak-anak muda yang ingin mandiri. Agus sudah memiliki semangat itu, dan sekarang dia menularkannya padaku.
Ketika aku benar-benar bulat bahwa aku harus segera merealisasikan mimpi-mimpiku, aku mengutarakan pada Agus, kalau ada rumahku yang bisa diagunkan untuk mendapatkan modal awal. Dengan catatan, cicilan rumah itu harus dilunasi dulu, atau disambung cicilan. Karena peluang itu memang ada, maka jadilah. Hari itu juga kami berdua berikrar akan bermitra dalam membangun bisnis kami, berpartner mewujudkan mimpi-mimpi kami.
Aku berharap, semoga ini adalah awal dari perjalananku menggapai takdir baikku.(**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Kehidupan Manusia