Kamis, 14 Oktober 2010

Awal Membangun Bisnis (3): Otak Kanan

Bermitra dengan Agus menyuntikkan harapan baru padaku. Saat itu juga kami mulai mengurus ke bank untuk mengatur ulang kredit dari rumahku. Jawabannya cukup positif. Semua bisa, apalagi cicilan rumahku tersisa kurang dari 2 tahun, sehingga pemotongan dari kucuran kredit baru tidak akan terlalu besar.
Tetapi kendala tetap ada, karena lokasi rumahku yang berada di luar wilayah kota tempat kami tinggal, sehingga kami harus mengurusnya ke daerah lain. Kendala pertama.
Meski tujuannya untuk menglokasi ulang kredit agunan rumahku, tetapi aku sebagai pemilik rumah, tetap harus memenuhi berbagai dokumen sebagai syarat administrasi. Sebenarnya aku bukan pemilik rumah yang baik, karena banyak dokumen yang aku abaikan selama memiliki rumah itu. Sebagai contoh, aku tidak pernah membayar PBB, sehingga aku tidak punya dokumen pembayaran PBB. Dokumen lain yang harus aku siapkan adalah slip gaji. Sudah dua tahun aku menjadi penganggur total, yang berarti aku tidak lagi punya slip gaji. Bisa saja aku membuat slip gaji fiktif dari perusahaan tempatku terakhir bekerja. Tetapi karena pihak bank biasanya melakukan konfirmasi ke tempat kerja, maka aku tak berani melakukannya. Pada sisi dokumen, aku tidak bisa memenuhi persyaratan yang diminta. Itu berarti kami tidak bisa mendapatkan dana segar dari kredit rumah. Kendala kedua.
Kami akhirnya menemukan jalan keluar bagi masalah pendanaan dalam investasi kami. Investor tetap berada pada sisi aku. Sebulan yang lalu salah satu kartu kreditku sudah aku selesaikan sehingga tidak ada masalah utang lagi, dan sudah diaktifkan kembali, sehingga aku bisa menggunakannya untuk berbelanja. Limitnya lumayan, Rp 18 juta. Kebetulan Agus punya teman yang punya bisnis gesek kartu kredit. Dengan kartu kredit itu, kami mendapatkan dana tunai Rp 17 juta, karena memang kartu kredit itu hanya aku pakai untuk membayar tagihan ponselku setiap bulan. Nilainya paling tinggi Rp 150 ribu.
Dari dana gesek tunai itu, kami dikenakan biaya administrasi 2,5%. Hasil hitunganku, biaya administrasinya cukup tinggi. Tapi kelonggaran pembayarannya juga cukup friendly, sehingga aku berani mengambil risikonya.
Kalau memang bisnis kami bisa berjalan, maka biaya administrasi plus cicilan pokoknya bisa kami bayarkan pada bulan berikutnya. Aman.
Seluruh dana segar itu aku serahkan sepenuhnya pada Agus. Pada saat itu, aku mempercayakan seluruh investasiku pada partnerku itu. Target bisnis kami adalah rumah makan, sebagaimana yang diangankan oleh Agus.
Kami memulainya pada pertengahan bulan Puasa. Saat yang tidak tepat untuk memulai sebuah rumah makan. Pada saat itu, kami sudah menyewa sebuah ruko. Tetapi semua harus menunggu hingga bulan puasa selesai.
Sambil menunggu, kami terus mengasah keberanian membangun bisnis dengan modal kecil melalui program motivasi, bertemu teman-teman Agus sesama siswa EU dan mencari peluang-peluang bisnis lainnya. Kami bahkan mulai memperluas usaha dengan membangun jaringan kerjasama dengan banyak orang. Beberapa calon mitra sudah kami dapatkan, antara lain, peluang masuk ke kantin sebuah universitas dan juga peluang membuka rumah makan di daerah lain.
Peluang yang datang bertubi-tubi membuat kami mulai keteteran menentukan arah yang jelas dengan rencana bisnis kami di awal. Apalagi semua menawarkan kemudahan. Tinggal ambil, dan action!
Di sebuah seminar motivasi, kami bertemu banyak orang, termasuk salah seorang alumnus almamater kami, Teknik. Namanya Yahya. Dia adalah adik tingkat tiga tahun di bawah kami. Aku sendiri tidak mengenalnya, meski saat dia masuk, aku masih aktif kuliah.
Dia mengalami masalah dengan keluarganya. Anak-anaknya membutuhkan perhatian yang sangat besar, sementara istrinya menolak untuk berhenti bekerja. Sehingga Yahya mengalah dan berhenti bekerja agar bisa menjaga anak-anaknya. Yahya juga adalah penganut otak kanan yang penuh semangat menggebu. Hanya saja kendala keluarga sehingga semangat menggebu itu hanya tersimpan di hati, sulit untuk direalisasikan.
Persis sama dengan kondisiku saat belum bertemu Agus. Hanya penuh dengan mimpi.
Obrolan kami yang panjang selama seminar sedang berlangsung membuat kami merasa, kami punya tujuan yang sama. Kami sama-sama punya mimpi untuk membangun bisnis sendiri, sehingga bisa mengatur waktu bekerja berdasarkan kebutuhan.
Mimpi Yahya adalah memiliki sebuah bengkel. Agus yang otaknya benar-benar berada di kanan semua, meyakinkan Yahya bahwa mimpinya bisa diwujudkan. Yahya akhirnya tertarik, sehingga jadilah, kami mengikutsertakan Yahya dalam kemitraan kami. Dengan tanpa modal dana. Dalam kemitraan ini, aku menjadi satu-satunya investor.
Bertambahnya satu orang mitra benar-benar semangat kami menjadi semakin menggebu-gebu. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Kehidupan Manusia